Perjalanan dari Kota Yogyakarta menuju wonosobo pukul 13.00 ba’da
zhuhur. Kami merencanakan perjalanan ke wonosobo untuk berlibur wisata
menikmati danau dan kawah Dieng yang terkenal itu.
kami tiba di kota wonosobo pukul 18.00, selalu sempatkan diri melakukan
solat berjamaah di masjid sebelum meneruskan perjalanan. Setelah itu kami meneruskan
perjalanan mengisi perut dengan wisata kuliner di kota wonosobo, sekedar
melepas lapar semangkok Mie Ongklok dan camilan
khas kota wonosobo akhir dinner malam itu. (foto mie Ongklok)
Tiba di salah satu pemukiman penduduk, tempat saudara teman yang tinggal
tidak jauh dari lokasi wisata Dieng. Hanya menempuh perjalanan 15 menit dari
rumahnya ke lokasi wisata. Kami tiba dirumah itu pukul 18.45. kami hanya bisa
menghabiskan malam dirumah dengan bebakaran jagung dan kopi hangat sekedar
menunggu waktu keesokan pagi untuk kelokasi wisata.
Ditengah obrolan malam ditemani janggel jagung yang sudah habis kami
santap, sesekali aroma kopi khas Dieng menyengat idung membuat kami tidak
merasa ngantuk ditambah lagi dengan ditemani ngobrol bersama beberapa sesepuh
desa sekitar Dieng, Bapak tua sang pemilik rumah sebut saja Pak De, menawarkan
kepada kami untuk wisata ke pegunungan Dieng tepatnya di gunung Prahu dan Si
Kunir.
Tidak pernah terlintas dalam benak kami untuk ke lokasi wisata
perbukitan Prahu dan Kunir. Namun, dari cerita dan foto-foto wisata yang
ditunjukan Pak De (Pemilik rumah yang kami singgahi), kami antusias untuk pergi
kesana. Malam pukul 23.20, percakapan berakhir dengan kesepakatan untuk
melakukan perjalanan dini hari ke Bukit Prahu.
Pukul 01.40, semua teman yang sebenarnya tidak terlalu tidur pulas karena
masih asik mengobrol ditempat tidur, semangat bergegas bangun dan bersiap
melakukan perjalanan kepuncak bukit. Perjalanan yang bisa dikatakan nekat dan
tanpa rencana. Hanya berbekal satu orang pemandu (pemuda desa Dieng) ke puncak
dan keberanian dan satu lagi semangat kebersamaan kami memulai perjalanan.
Pukul 02.00 kami baru lepas landas meninggalkan perkampungan dan menyusuri
ladang-ladang penduduk yang banyak ditanami palawija, sesekali terihat jelas dengan
bantuan sinar lampu senter yang kami bawa.
Baru tracking awal perjalanan dan masih tampak sorot lampu rumah-rumah
penduduk, seorang teman mengalami mual dan
jackpot ditengah jalanan kon blok area ladang penduduk. Mungkin karena dia
tidak pernah melakukan perjalanan jauh ditengah angin dingin dan ditambah lagi
bobot teman kami satu ini bisa dikatakan lebih heavy dari yang lain. Namanya saja dipanggil Gendut, sudah pasti
orangnya kurus banget. Percaya? Yang pasti gendut atau bertubuh gemuklah. Perjalanan
itu membuat pernafasannya tidak terlalu lancar jadi mudah lelah dan masuk
angin.
Foto :
Sigendut sedang meringis akibat 5P (Pernafasan sesak, Pegel-pegel, Pusing,
Pengen cepet nyampe)
Kami semua sangat khawatir dan panik melihat kondisi tersebut karena
raut wajah teman yang sudah pucat pasi, nafas tersengal dan terus bersendawa.
15 menit kami berhenti disana dan menunggu kondisi teman tenang. Sebenarnya
kami memutuskan untuk kembali saja ke rumah Pak De karena kondisi teman yang
mengkhawatirkan tersebut. Namun justru si gendut yang tampak sakit itu tidak
mau kembali dan memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Sungguh teman yang
aneh, yang sehat ingin kembali mengkhawatirkannya tapi dia tidak khawatir sama
sekali.
Setelah itu kami melanjutkan perjalanan karena kondisi si gendut yang
sudah tenang dan kuat. Meski sesekali diperjalanan dia masih mengeluarkan
amunisi di perutnya melalui mulut. Namun semangatnya tak pernah gentar untuk
terus berjalanan keatas melewati jalanan terjal dan jurang-jurang yang berbisik
ditengah kesunyian malam bertabur bintang di atas langit sana.
Setengah perjalanan menuju perbukitan, sesekali menoleh kebelakang yang tampak
hanya kerlap-kerlip sinar seperti bintang dibawah sana. Itu adalah lampu-lampu
listrik rumah-rumah penduduk yang mengawali perjalanan kami, semakin lama
semakin meredup dan tak tampak sama sekali pertanda kami sudah jauh
meninggalkan perkampungan. Diatas tampak gemerlip bintang menemani semangat
kami. Semilir angin meniup daun dipepohonan pinnus terasa sejuk. Suasana malam
itu belum pernah aku rasakan seumur hidupku sebelumnya. Sejuk,damai,tenang dan
tidak ada keangkuhan sedikitpun. Entah apa itu namanya yang jelas aku merasa
berdamai sekali dengan alam saat itu.
Foto : Bergantian
mendaki jalanan setapak, kanan-kiri jurang
Sekarang yang tampak hanya gelap dikanan kiri dan sesekali bebatuan, rasanya
tak mungkin untuk menoleh kebelakang dan kembali karena perjalanan hanya menawarkan
satu pilihan saja untuk terus menanjak dengan tebing-tebingnya yang tinggi dan
curam. Kanan kiri adalah jurang dan bukan lagi ladang penduduk. Setapak demi
setapak kami lewati perjalanan sunyi itu, namun sayang tidak sesunyi malam yang
menawarkan kengerian diperjalanan itu karena teman-teman yang gaduh dan
sesekali bercanda membuat malam rasanya masih ramai saja. Bagaimana tidak,
melewati perjalanan bebatuan, licin, setapak, kami semua salah kostum. Bukan
kostum pergi mendaki atau pergi ke pegunungan. Beberapa teman malah hanya
memakai sandal yang cocok untuk dipakai ke pasar atau mall, beberapa lagi
justru cocok dipakai kekantor.
“waduh sepatuku rusak
deh, waaah bukan mahal atau bagusnya tapi ini dari siapa yang memberinya”. Seorang teman lelaki menyeletuk menyayangkan sepatunya yang rasanya
tidak pantas diajak melalui perjalanan waktu itu. “eeeitss…yaah sandal gue gelepotan tanah nih, aduuuhhh kalo copot pitanya-pitanya
jelek deh aduh kalo lepas karetnya ntar gue nyekermen donk.hiks hiks”.
Seorang teman peremepuan lagi-lagi melihat kearah sandalnya yang sudah
bergumul dengan tanah dan tampak kotor. Begitulah nyaring suara teman-teman
yang justru tidak sedikitpun membuat perjalanan berbalik arah dan berhenti.
Hanya sesekali berhenti untuk minum saja dan tertawa melihat kondisi teman satu
dengan yang lain, mentertawakan keanehan dan kesialan masing-masing itulah yang
membuat gaduh dan gembiranya suasana.
Si gendut yang tadinya nyaris dikembalikan kebarak pengungisian pun
justru malah berubah seratus delapan pulu derajat, justru ditengah perjalanan
dia sangat gembira, kuat dan semangat sekali. Membuat kami yang bertubuh ideal
dan sehat malu jika harus mengeluh sakit. Sesekali perempuan bertubuh tambun
itu menyanyikan lagu sound track dora emon dan shincan “ mendaki gunung lewati lembah, sungai mengalir indah na na ni na….”. Kami
tertawa dan saling menyemangati. Celetukan-celetukan teman yang mengeluh bukan
membuat yang lain mengasihani tapi justru membuat yang mengeluh semakin di bully.
Perjalanan terus menanjak keatas dan semakin menukik keatas. Bahkan kami
harus merangkak dan memegang bebatuan dan akar untuk terus keatas. Ini seperti
melodi dramanya anak mahasiswa pencinta alam yang melakukan panjat tebing. Tapi
kami adalah pemula yang baru kali pertama melakukan ini seumur hidup. Sang pemandu
perjalanan terus menyemangati. Jika ditanya berapa jauh lagi perjalanan yang
akan ditempuh, dia akan mengatakan “sudah
dekat kok”. Meski jawabannya itu
dusta, karena perjalanan masih jauh setidaknya membuat kami tidak akan berfikir
untuk menyudahi perjalanan itu.
Tibalah di tebing yang curam dengan hanya berbekal lampu sorot senter.
Tampak pepohonan pinus yang berdiri menjulang tinggi. Bahkan karena kami berada
ditebing, pucuk pohon terasa bisa kami sentuh. Pepohonan itu berakar dibawah
tebing jurang yang curam sehingga pucuk dan batang tengah pohon bisa kami
jangkau karena letak posisi kami ditengah tebing. Untungnya kami tidak melihat
mata-mata jurang seperti pisau yang siap menikam kami kapan saja. Karena yang
kami lihat hanya jalan setapak yang semakin keatas. Seperti sebuah harapan yang
harus terus diraih dan tidak boleh meninggalkan kegalauan apapun dibelakangnya.
Lebay..
Pukul 04.20 pagi. Tibalah kami di ujung perjalanan yang melelahkan itu.
Perbukitan datar menyambut kami disana. Tampak beberapa tenda tenda berdiri di tengah
bukit-bukit kecil dan beberapa kumpulan orang yang sedang bersenda gurau
bergitar dibeberapa tempat.
Tibalah kami di puncak bukit Prahu.
Sebenarnya kami belum tau benar, kenikmatan apa yang disuguhkan bukit
itu selain hawa dingin yang sangat menusuk tulang dan juga rerumputan ilalang
dibeberapa bukit kecil.
Barulah pukul 05.00 pagi, tampak semburat jingga matahari yang sedang
menggeliat bangun dari tidurnya. Aduhai, kami manusia dibawah sana bagai
patikel yang terkecil dimuka bumi menyaksikan sang surya membuka mata.
Foto : menunggu
detik-detik mentari muncul kepermukaan langit
Luar biasa, menit ke menit kami tidak melepaskan pandangan sedikitpun
keatas langit itu, inilah kenikmatan yang disuguhkan bukit prahu tapi kata sang
pemandu itu belum seberapa nanti kau akan lihat saat sang surya lagi berjemur. Apaa?? Aku masih termangu dan tidak
merasa aneh dengan pernyataan si pemandu yang pendusta itu.
Semburat merah jingga sang surya mulai menerpa awan-awan putih yang
berkejaran menyelimuti malam. Usai sudah keheningan hitam yang menina bobokan
alam semesta hari itu. Ia menggeliat dengan manja dan mulai merangkak turun
dengan terpaan sinarnya yang mengagumkan (sun rise from the top of mountain).
Inilah dongeng negri diatas awan.
Foto : Menyaksikan
geliat jingga diatas mega
Tidak penting ketika orang berkata ada keindahan yang lebih menakjubkan
dari ini seperti dengan melihat matahari terbit di atas gunung mahmeru, bromo
dan lainnya karena yang kami tahu saat itu kami berhasil menginjakan kaki
bersama sahabat-sahabat kami tercinta diatas kepulan awan-awan putih yang
bertebaran memasuki istana pagi.
Foto : Beberapa
perbukitan teletubies dan puncak gunung sindoro
Lihatlah kedepan dan mendongak keatas, semburat mentari pagi mulai
menghangatkan tubuh dengan senyuman sang surya yang indah dan menawan. Menolehlah
ke kiri, lihatlah gundukan-gundukan perbukitan seperti bukit teletubies
ditambah hamparan ilalang menghijau diumbuhi bunga-bunga kecil berwarna warni.
Tengoklah ke kanan, Puncak tertinggi gunung sindoro dengan teksturnya yang
sangat jelas benar-benar megah dan angkuh bertengger memenangkan perayaan pagi
itu.
Tapi berfokuslah dengan
hati, lihatlah lebih dalam disamping kanan kiri dan belakang, sahabat-sahabatmu
berada disana dengan tawa dan pelukan hangat yang menemani kisah perjalanan
hidupmu, bukan tentang apa yang ditawarkan alam saat itu yang menjadi coretan
separuh perjalan hidupmu, tapi coretan dari tinta atas kehadiran teman-temanlah
yang mewarnai lembaran kosong dari hidup kita yang sebenarnya.
Foto : We are Blessing
Alam saat itu benar-benar tersenyum menyaksikan suka cita pertemanan
kita yang sangat indah.
Meski hanya seperti mimpi pagi yang harus kami akhiri dengan
meninggalkannya dari tempat tidur namun ia akan terus menggenang dalam lautan
kenang tentang kisah bersama orang-orang terkasih. Pesona alam bukit prahu kami
tinggalkan dengan perasaan senang dan bahagia.
Pergi menuju kembali pulang ke bawah Dieng. Perjalanan turun memang
tidak selama saat berangkat naik keatas. Melihat kanan kiri hasil perjalanan
semalam rasanya tidak percaya dan ajaib. Kami melalui perbukitan terjal yang
saat perjalanan pulang tampak jelas sekali disamping kanan kirinya hanya ada
Jurang yang curam sekali.
Pagi itu pukul 07.00 kami menuruni perbukitan terjal kembali pulang.
Tapi lagi-lagi pesona alam Dieng tak hentinya membuat kami berdecak kagum. Tampak
perkampungan Dieng di kurung dengan tembok-tembok tinggi pegunungan yang
menjulang tinggi. Hamparan ladang para petani di tebing-tebingnya yang berundak
itu sperti lukisan garis-garis tipis mahakarya Tuhan yang luar biasa indah.
Foto : Tekstur gunung
sindoro dilihat dari bukit perahu
Sindoro yang jauh disana membiru, semakin megah namun anggun.
Beberapa ladang sudah tampak jelas ditumbuhi tanamana palawija (wortel,
Kubis dan Sawi) dan juga perkebunan Pepaya Kecil yang lebih dikenal dengan nama
(Carica) yang menjadi olahan oleh-oleh primadona khas Dieng.
Foto :
Desa Dieng Wonosobo dan danau Plateu Dieng saat perjalanan turun bukit
Tibalah kami di rumah Pak De. Segera membersihkan diri dengan mandi air
panas yang mengalir dipipa-pipa khusus yang pasti dimiliki penduduk sana. Bukan
karena sekedar perlu persediaan air panas, namun karena memang suhu didaerah
tersebut meski panas tetap dingin. Jadi persediaan air panas dan perapian
pembakaran api didalam ruangan menjadi sangatlah penting menyesuaikan kondisi
lingkungan. Setelah membersihkan diri, kami disuguhi beberapa jajanan
tradisional olahan Bu De. Kami menyantap camilan gethuk goreng dan sarapan nasi
goreng krecek olahan Bu De yang sederhana namun sangat nikmat. Keramahan
penduduk Dieng sangat membekas dihati.
Pukul 10.00 kami berangkat menuju lokasi wisata Dieng dari rumah Pak De.
Meskipun panas terik memang benar suhu disana masih terasa dingin.
Tibalah dilokasi wisata Dieng yaitu danau berair hijau yang menghampar
luas dikaki perbukitan hijau.
Tampak beberapa orang bersenda gurau ditepian danaunya. Muda-mudi dengan
pasangannya dan ada juga kelurga yang sedang tamasya.
Foto : Pesona Danau
Plateu Dieng
Dari danau kami meneruskan perjalanan ke sebuah kawah, dikaki bukit.
Sangat alami sekali, beberapa batu granit, batu kapur dan batu kawah
menyelimuti kawah yang masih aktif itu. gelembung-gelembung lumpur panas yang
menyembul dilubang-lubang kawah menerbangkan asap-asap putih kawah Dieng.
Disekitar area parkir kendaraan, warung-warung penjaja batu kapur kawah
berjejer rapi. Mereka menjual bungkusan-bungkusan berisi batu kapur kawah yang
sudah dipotong sedemikian rupa. Kata orang setempat batu itu bagus untuk
campuran mandi dan berkhasiat menghilangkan penyakit 3K (kudis, Kurap, Kutu
air). Andai saja bisa mengobati 3K yang lain (Kantong Kosong Kere) hehe..
Foto : Kawah Dieng
Beranjak dari wisata Kawah Dieng, diperjalanan menuju Candi Dieng. kami
melihat hamparan ladang Kentang. Beberapa penduduk ada yang sedang memanen
kentang. Luar biasa pertanian Indonesia ini. Dieng memang terkenal dengan
wilayah penghasil kentang terbesar di pulau jawa.
Tida di candi, asri di sekitarnya hanya terlihat pegunungan saja. Candi
ini begitu tertata rapi dan taman-taman yang tampak sangat terawat. Nyaman
sekali sesekali berbaring diatas hamparan hijau rumput bak permadani dengan
suguhan pemandangan Candi ditambah dengan adegan manusia-manusia berkostum
prajurit dan kera menggambarkan drama tragedi dibangunnya candi tersebut.
Foto : Candi Dieng
Dibalik pepohonan dan bukit-bukit kecil buatan manusia disamping candi
beberapa badut denga kostum teletubies berlarian kesana-kemari mengajak
wisatawan berfoto-foto dan menggoda anak-anak kecil. Ah semakin ingin
berlama-lama saja berada disana.
Foto : Teletubies and
fans