Kamis, 17 Maret 2016

PANCURAN PITU


Pancuran Pitu, Puwokerto
(Wisata Alam belerang,pancuran tujuh)
Perjalanan ini berawal dari isenk sih. Kebetulan ada undangan pernikahan salah satu sahabat di kota purwokerto. Pukul 06.00 pagi perjalanan dari kota Yogyakarta menuju purwokerto sekitar 5 jam. Bukan karena perjalanan macet tapi lebih dikarenakan sempat tersesat waktu diperjalanan menuju TKP resepsi pernikahan. Berbekal GPS suara-suara sumbang teman-teman dan ya jurus andalan yaitu bertanya orang dijalan.Akhirnya tiba di lokasi undangan sekitar pukul 11.15 siang. Setelah menyantap makanan di pernikahan sahabat kami. Usai shalat berjama’ah disalah satu masjid kampung, disana kami memutuskan untuk mencari lokasi wisata setempat. Ibarat kata sih mumpung dimari,sayang dilewatin aja.
Perjalanan diteruskan menuju lokasi wisata purwokerto yaitu wisata Batu Raden. Membutuhkan waktu sekitar 30 menit untuk sampai ketempat pemandian panas batu raden.
Sebenarnya banyak wahana permainan sekitar taman batu raden. Seperti flying fox, jempatan gantung, rafting dll. Tapi kami memilih untuk meneruskan jalan kaki ke tempat wisata air pancoran tujuh.
Dengan melewati beberapa jalur yang lumayan seram,karena agak sedikit kehutan-hutanan. Ditambah dengan cuaca yang saat itu agak sedikirt mendung,sehingga pepohonan yang rimbun menambah suasana seram disekitar perjalanan. Namun setelah tiba dilokasi, kami sangat bahagia karena tempat tersebut memang panas. Airnya maksudnya.
Benar-benar alami. Air panas yang kata warga setempat adalah air asli pegunungan yang mengalir dan pancoran tujuh bekas pemandian putri dan raja dahulu kala. Mitosnya sih.
Disana juga sudah disediakan tempat mandi permanen. Ada wathub/bak untuk mandi. Tapi sayang tidak ada gayungnya sodara-sodara.mungkin kebetulan hari itu si gayung lagi dipake nenek mandi. Jadi nenek gayung donk.
Beberapa teman perempuan mandi di area pemandian khusus di ruangan yang disediakan dengan air panas yang mengalir melalui saluran pipa-pipa yang sudah diatur sedemikian rupa. Dan beberapa teman lainnya memanjakan diri dengan maskeran lumpur kuning ditambah dimanjakan dengan jasa tukang pijet berbagai usia. Jadi luluran dan massage alam. Dan belerang yang terdapat disekitar pancuran dan dipercaya bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit terutama penyakit kulit. Tapi bagiku itu tidak menyembuhkan penyakitku, karena penyakitku hanya sebatas kejiwaan. Waa, sakit jiwa donk.
Bahkan mitosnya siapa yang cuci muka di tujuh pancoran tersebut bisa awet muda. Aku mencoba untuk membasuh mukaku. Bukan karena percaya mitos awet muda tapi aku hanya ingin awet hidupnya. Lho?hehe…


DIENG


DIENG : Wonosobo Jawa Tengah
Wisata Candi, Danau, Kawah dan Bukit

Wisata Candi, Danau, Kawah dan Bukit Prahu, DIENG Wonosobo
Perjalanan dari Kota Yogyakarta menuju wonosobo pukul 13.00 ba’da zhuhur. Kami merencanakan perjalanan ke wonosobo untuk berlibur wisata menikmati danau dan kawah Dieng yang terkenal itu.
kami tiba di kota wonosobo pukul 18.00, selalu sempatkan diri melakukan solat berjamaah di masjid sebelum meneruskan perjalanan. Setelah itu kami meneruskan perjalanan mengisi perut dengan wisata kuliner di kota wonosobo, sekedar melepas lapar semangkok Mie Ongklok dan camilan khas kota wonosobo akhir dinner malam itu. (foto mie Ongklok)
Tiba di salah satu pemukiman penduduk, tempat saudara teman yang tinggal tidak jauh dari lokasi wisata Dieng. Hanya menempuh perjalanan 15 menit dari rumahnya ke lokasi wisata. Kami tiba dirumah itu pukul 18.45. kami hanya bisa menghabiskan malam dirumah dengan bebakaran jagung dan kopi hangat sekedar menunggu waktu keesokan pagi untuk kelokasi wisata.
Ditengah obrolan malam ditemani janggel jagung yang sudah habis kami santap, sesekali aroma kopi khas Dieng menyengat idung membuat kami tidak merasa ngantuk ditambah lagi dengan ditemani ngobrol bersama beberapa sesepuh desa sekitar Dieng, Bapak tua sang pemilik rumah sebut saja Pak De, menawarkan kepada kami untuk wisata ke pegunungan Dieng tepatnya di gunung Prahu dan Si Kunir.
Tidak pernah terlintas dalam benak kami untuk ke lokasi wisata perbukitan Prahu dan Kunir. Namun, dari cerita dan foto-foto wisata yang ditunjukan Pak De (Pemilik rumah yang kami singgahi), kami antusias untuk pergi kesana. Malam pukul 23.20, percakapan berakhir dengan kesepakatan untuk melakukan perjalanan dini hari ke Bukit Prahu.
Pukul 01.40, semua teman yang sebenarnya tidak terlalu tidur pulas karena masih asik mengobrol ditempat tidur, semangat bergegas bangun dan bersiap melakukan perjalanan kepuncak bukit. Perjalanan yang bisa dikatakan nekat dan tanpa rencana. Hanya berbekal satu orang pemandu (pemuda desa Dieng) ke puncak dan keberanian dan satu lagi semangat kebersamaan kami memulai perjalanan.
Pukul 02.00 kami baru lepas landas meninggalkan perkampungan dan menyusuri ladang-ladang penduduk yang banyak ditanami palawija, sesekali terihat jelas dengan bantuan sinar lampu senter yang kami bawa.
Baru tracking awal perjalanan dan masih tampak sorot lampu rumah-rumah penduduk, seorang teman mengalami mual dan jackpot ditengah jalanan kon blok area ladang penduduk. Mungkin karena dia tidak pernah melakukan perjalanan jauh ditengah angin dingin dan ditambah lagi bobot teman kami satu ini bisa dikatakan lebih heavy dari yang lain. Namanya saja dipanggil Gendut, sudah pasti orangnya kurus banget. Percaya? Yang pasti gendut atau bertubuh gemuklah. Perjalanan itu membuat pernafasannya tidak terlalu lancar jadi mudah lelah dan masuk angin.
Foto : Sigendut sedang meringis akibat 5P (Pernafasan sesak, Pegel-pegel, Pusing, Pengen cepet nyampe)
Kami semua sangat khawatir dan panik melihat kondisi tersebut karena raut wajah teman yang sudah pucat pasi, nafas tersengal dan terus bersendawa. 15 menit kami berhenti disana dan menunggu kondisi teman tenang. Sebenarnya kami memutuskan untuk kembali saja ke rumah Pak De karena kondisi teman yang mengkhawatirkan tersebut. Namun justru si gendut yang tampak sakit itu tidak mau kembali dan memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Sungguh teman yang aneh, yang sehat ingin kembali mengkhawatirkannya tapi dia tidak khawatir sama sekali.
Setelah itu kami melanjutkan perjalanan karena kondisi si gendut yang sudah tenang dan kuat. Meski sesekali diperjalanan dia masih mengeluarkan amunisi di perutnya melalui mulut. Namun semangatnya tak pernah gentar untuk terus berjalanan keatas melewati jalanan terjal dan jurang-jurang yang berbisik ditengah kesunyian malam bertabur bintang di atas langit sana.
Setengah perjalanan menuju perbukitan, sesekali menoleh kebelakang yang tampak hanya kerlap-kerlip sinar seperti bintang dibawah sana. Itu adalah lampu-lampu listrik rumah-rumah penduduk yang mengawali perjalanan kami, semakin lama semakin meredup dan tak tampak sama sekali pertanda kami sudah jauh meninggalkan perkampungan. Diatas tampak gemerlip bintang menemani semangat kami. Semilir angin meniup daun dipepohonan pinnus terasa sejuk. Suasana malam itu belum pernah aku rasakan seumur hidupku sebelumnya. Sejuk,damai,tenang dan tidak ada keangkuhan sedikitpun. Entah apa itu namanya yang jelas aku merasa berdamai sekali dengan alam saat itu.
Foto : Bergantian mendaki jalanan setapak, kanan-kiri jurang
Sekarang yang tampak hanya gelap dikanan kiri dan sesekali bebatuan, rasanya tak mungkin untuk menoleh kebelakang dan kembali karena perjalanan hanya menawarkan satu pilihan saja untuk terus menanjak dengan tebing-tebingnya yang tinggi dan curam. Kanan kiri adalah jurang dan bukan lagi ladang penduduk. Setapak demi setapak kami lewati perjalanan sunyi itu, namun sayang tidak sesunyi malam yang menawarkan kengerian diperjalanan itu karena teman-teman yang gaduh dan sesekali bercanda membuat malam rasanya masih ramai saja. Bagaimana tidak, melewati perjalanan bebatuan, licin, setapak, kami semua salah kostum. Bukan kostum pergi mendaki atau pergi ke pegunungan. Beberapa teman malah hanya memakai sandal yang cocok untuk dipakai ke pasar atau mall, beberapa lagi justru cocok dipakai kekantor.
“waduh sepatuku rusak deh, waaah bukan mahal atau bagusnya tapi ini dari siapa yang memberinya”. Seorang teman lelaki menyeletuk menyayangkan sepatunya yang rasanya tidak pantas diajak melalui perjalanan waktu itu. “eeeitss…yaah sandal gue gelepotan tanah nih, aduuuhhh kalo copot pitanya-pitanya jelek deh aduh kalo lepas karetnya ntar gue nyekermen donk.hiks hiks”.
Seorang teman peremepuan lagi-lagi melihat kearah sandalnya yang sudah bergumul dengan tanah dan tampak kotor. Begitulah nyaring suara teman-teman yang justru tidak sedikitpun membuat perjalanan berbalik arah dan berhenti. Hanya sesekali berhenti untuk minum saja dan tertawa melihat kondisi teman satu dengan yang lain, mentertawakan keanehan dan kesialan masing-masing itulah yang membuat gaduh dan gembiranya suasana.
Si gendut yang tadinya nyaris dikembalikan kebarak pengungisian pun justru malah berubah seratus delapan pulu derajat, justru ditengah perjalanan dia sangat gembira, kuat dan semangat sekali. Membuat kami yang bertubuh ideal dan sehat malu jika harus mengeluh sakit. Sesekali perempuan bertubuh tambun itu menyanyikan lagu sound track dora emon dan shincan “ mendaki gunung lewati lembah, sungai mengalir indah na na ni na….”. Kami tertawa dan saling menyemangati. Celetukan-celetukan teman yang mengeluh bukan membuat yang lain mengasihani tapi justru membuat yang mengeluh semakin di bully.
Perjalanan terus menanjak keatas dan semakin menukik keatas. Bahkan kami harus merangkak dan memegang bebatuan dan akar untuk terus keatas. Ini seperti melodi dramanya anak mahasiswa pencinta alam yang melakukan panjat tebing. Tapi kami adalah pemula yang baru kali pertama melakukan ini seumur hidup. Sang pemandu perjalanan terus menyemangati. Jika ditanya berapa jauh lagi perjalanan yang akan ditempuh, dia akan mengatakan “sudah dekat kok”. Meski jawabannya  itu dusta, karena perjalanan masih jauh setidaknya membuat kami tidak akan berfikir untuk menyudahi perjalanan itu.
Tibalah di tebing yang curam dengan hanya berbekal lampu sorot senter. Tampak pepohonan pinus yang berdiri menjulang tinggi. Bahkan karena kami berada ditebing, pucuk pohon terasa bisa kami sentuh. Pepohonan itu berakar dibawah tebing jurang yang curam sehingga pucuk dan batang tengah pohon bisa kami jangkau karena letak posisi kami ditengah tebing. Untungnya kami tidak melihat mata-mata jurang seperti pisau yang siap menikam kami kapan saja. Karena yang kami lihat hanya jalan setapak yang semakin keatas. Seperti sebuah harapan yang harus terus diraih dan tidak boleh meninggalkan kegalauan apapun dibelakangnya. Lebay..
Pukul 04.20 pagi. Tibalah kami di ujung perjalanan yang melelahkan itu. Perbukitan datar menyambut kami disana. Tampak beberapa tenda tenda berdiri di tengah bukit-bukit kecil dan beberapa kumpulan orang yang sedang bersenda gurau bergitar dibeberapa tempat.
Tibalah kami di puncak bukit Prahu.
Sebenarnya kami belum tau benar, kenikmatan apa yang disuguhkan bukit itu selain hawa dingin yang sangat menusuk tulang dan juga rerumputan ilalang dibeberapa bukit kecil.
Barulah pukul 05.00 pagi, tampak semburat jingga matahari yang sedang menggeliat bangun dari tidurnya. Aduhai, kami manusia dibawah sana bagai patikel yang terkecil dimuka bumi menyaksikan sang surya membuka mata.
Foto : menunggu detik-detik mentari muncul kepermukaan langit
Luar biasa, menit ke menit kami tidak melepaskan pandangan sedikitpun keatas langit itu, inilah kenikmatan yang disuguhkan bukit prahu tapi kata sang pemandu itu belum seberapa nanti kau akan lihat saat sang surya lagi berjemur. Apaa?? Aku masih termangu dan tidak merasa aneh dengan pernyataan si pemandu yang pendusta itu.
Semburat merah jingga sang surya mulai menerpa awan-awan putih yang berkejaran menyelimuti malam. Usai sudah keheningan hitam yang menina bobokan alam semesta hari itu. Ia menggeliat dengan manja dan mulai merangkak turun dengan terpaan sinarnya yang mengagumkan (sun rise from the top of mountain). Inilah dongeng negri diatas awan.
Foto : Menyaksikan geliat  jingga diatas mega
Tidak penting ketika orang berkata ada keindahan yang lebih menakjubkan dari ini seperti dengan melihat matahari terbit di atas gunung mahmeru, bromo dan lainnya karena yang kami tahu saat itu kami berhasil menginjakan kaki bersama sahabat-sahabat kami tercinta diatas kepulan awan-awan putih yang bertebaran memasuki istana pagi.
Foto : Beberapa perbukitan teletubies dan puncak gunung sindoro
Lihatlah kedepan dan mendongak keatas, semburat mentari pagi mulai menghangatkan tubuh dengan senyuman sang surya yang indah dan menawan. Menolehlah ke kiri, lihatlah gundukan-gundukan perbukitan seperti bukit teletubies ditambah hamparan ilalang menghijau diumbuhi bunga-bunga kecil berwarna warni. Tengoklah ke kanan, Puncak tertinggi gunung sindoro dengan teksturnya yang sangat jelas benar-benar megah dan angkuh bertengger memenangkan perayaan pagi itu.
Tapi berfokuslah dengan hati, lihatlah lebih dalam disamping kanan kiri dan belakang, sahabat-sahabatmu berada disana dengan tawa dan pelukan hangat yang menemani kisah perjalanan hidupmu, bukan tentang apa yang ditawarkan alam saat itu yang menjadi coretan separuh perjalan hidupmu, tapi coretan dari tinta atas kehadiran teman-temanlah yang mewarnai lembaran kosong dari hidup kita yang sebenarnya.
Foto : We are Blessing
Alam saat itu benar-benar tersenyum menyaksikan suka cita pertemanan kita yang sangat indah.
Meski hanya seperti mimpi pagi yang harus kami akhiri dengan meninggalkannya dari tempat tidur namun ia akan terus menggenang dalam lautan kenang tentang kisah bersama orang-orang terkasih. Pesona alam bukit prahu kami tinggalkan dengan perasaan senang dan bahagia.
Pergi menuju kembali pulang ke bawah Dieng. Perjalanan turun memang tidak selama saat berangkat naik keatas. Melihat kanan kiri hasil perjalanan semalam rasanya tidak percaya dan ajaib. Kami melalui perbukitan terjal yang saat perjalanan pulang tampak jelas sekali disamping kanan kirinya hanya ada Jurang yang curam sekali.
Pagi itu pukul 07.00 kami menuruni perbukitan terjal kembali pulang. Tapi lagi-lagi pesona alam Dieng tak hentinya membuat kami berdecak kagum. Tampak perkampungan Dieng di kurung dengan tembok-tembok tinggi pegunungan yang menjulang tinggi. Hamparan ladang para petani di tebing-tebingnya yang berundak itu sperti lukisan garis-garis tipis mahakarya Tuhan yang luar biasa indah.
Foto : Tekstur gunung sindoro dilihat dari bukit perahu
Sindoro yang jauh disana membiru, semakin megah namun  anggun.
Beberapa ladang sudah tampak jelas ditumbuhi tanamana palawija (wortel, Kubis dan Sawi) dan juga perkebunan Pepaya Kecil yang lebih dikenal dengan nama (Carica) yang menjadi olahan oleh-oleh primadona khas Dieng.
Foto : Desa Dieng Wonosobo dan danau Plateu Dieng saat perjalanan turun bukit
Tibalah kami di rumah Pak De. Segera membersihkan diri dengan mandi air panas yang mengalir dipipa-pipa khusus yang pasti dimiliki penduduk sana. Bukan karena sekedar perlu persediaan air panas, namun karena memang suhu didaerah tersebut meski panas tetap dingin. Jadi persediaan air panas dan perapian pembakaran api didalam ruangan menjadi sangatlah penting menyesuaikan kondisi lingkungan. Setelah membersihkan diri, kami disuguhi beberapa jajanan tradisional olahan Bu De. Kami menyantap camilan gethuk goreng dan sarapan nasi goreng krecek olahan Bu De yang sederhana namun sangat nikmat. Keramahan penduduk Dieng sangat membekas dihati.
Pukul 10.00 kami berangkat menuju lokasi wisata Dieng dari rumah Pak De. Meskipun panas terik memang benar suhu disana masih terasa dingin.
Tibalah dilokasi wisata Dieng yaitu danau berair hijau yang menghampar luas dikaki perbukitan hijau.
Tampak beberapa orang bersenda gurau ditepian danaunya. Muda-mudi dengan pasangannya dan ada juga kelurga yang sedang tamasya.
Foto : Pesona Danau Plateu Dieng
Dari danau kami meneruskan perjalanan ke sebuah kawah, dikaki bukit. Sangat alami sekali, beberapa batu granit, batu kapur dan batu kawah menyelimuti kawah yang masih aktif itu. gelembung-gelembung lumpur panas yang menyembul dilubang-lubang kawah menerbangkan asap-asap putih kawah Dieng.
Disekitar area parkir kendaraan, warung-warung penjaja batu kapur kawah berjejer rapi. Mereka menjual bungkusan-bungkusan berisi batu kapur kawah yang sudah dipotong sedemikian rupa. Kata orang setempat batu itu bagus untuk campuran mandi dan berkhasiat menghilangkan penyakit 3K (kudis, Kurap, Kutu air). Andai saja bisa mengobati 3K yang lain (Kantong Kosong Kere) hehe..
Foto : Kawah Dieng
Beranjak dari wisata Kawah Dieng, diperjalanan menuju Candi Dieng. kami melihat hamparan ladang Kentang. Beberapa penduduk ada yang sedang memanen kentang. Luar biasa pertanian Indonesia ini. Dieng memang terkenal dengan wilayah penghasil kentang terbesar di pulau jawa.
Tida di candi, asri di sekitarnya hanya terlihat pegunungan saja. Candi ini begitu tertata rapi dan taman-taman yang tampak sangat terawat. Nyaman sekali sesekali berbaring diatas hamparan hijau rumput bak permadani dengan suguhan pemandangan Candi ditambah dengan adegan manusia-manusia berkostum prajurit dan kera menggambarkan drama tragedi dibangunnya candi tersebut.
Foto : Candi Dieng
Dibalik pepohonan dan bukit-bukit kecil buatan manusia disamping candi beberapa badut denga kostum teletubies berlarian kesana-kemari mengajak wisatawan berfoto-foto dan menggoda anak-anak kecil. Ah semakin ingin berlama-lama saja berada disana.
Foto : Teletubies and fans


SIDOMUKTI

UMBUL SIDOMUKTI : UNGARAN, JAWA TENGAH
(Wisata Outbond,Perbukitan,Pemandian,Cottage,Kafe)

Rasa penasaranku terhadap salah satu panorama wisata alam Umbul Sidomukti Ungaran terjawab sudah. Pukul 10 pagi perjalanan dimulai dari Jogjakarta. Avanza putih plat AB meluncur membawaku ketempat itu. Baru seperempat perjalanan kami ber-7 mampir kesebuah warung makan daerah muntilan. Maklum,perut masih keroncongan karna tidak sempat sarapan pagi. Keburu jam 5 pagi aku sudah siap tapi ternyata teman yang jemput baru nongol jam 8 pagi, belum lagi pergi buat ganti mobil. Karna aku mau yang putih, irit, bisa digawe kebut-kebutan dan bandel. Kata yang nyupir sih.
Setelah menyantap kupat tahu dan soto “Pak Diro”nama warungnya, (bisa-bisaan gue aje sih kasih nama).kami bergegas melanjutkan perjalanan. Dan setengah perjalanan, hujan turun deras. Dalam bayanganku pupus sudah buat ambil gambar sun-shet diatas kolam renang alami seperti yang aku lihat di mbah google image. (sebenernya gue sih cuma pengen narsis renang diatas kolam dan terpapar sinar sun-shet, biar dikate yg liat foto gue bilang “asli tu cewek fotogenic banget”)cuih..
Pasti disana jalan licin, gelap dan kabut. Pikirku.(cemberut menahan kekecewaan)
Setelah berada dipinggirn kota Ungaran, kami mulai bertanya kepada penduduk setempat arah menuju lokasi Umbul Sidomukti, meski google map dan bacot navigasi menunjuk arah dengan tepat, meski hujan masih belum reda kami masih bertanya arah pada penduduk setempat. (mastiin aje kalo kita orang jauh).
Mampir lagi kami ke sebuah masjid menunaikan sholat dzuhur karna waktu itu sudah menunjukan pukul 12.30. (motivasinya minta pencerahan sama Allah, biar gak sesat). Disana lagi kami bertanya pada penjaga masjid arah menuju TKP. Dan kata pak penjaga sekitar 5 KM lagi. Setelah mengikuti petunjuk arah yang di petakan sama pak penjaga masjid, ternyata kami kebablasan jalannya. Jalan itu malah menuju Candi Gedong Songo. Mobilpun putar balik dan lumayan memakan waktu hampir 1 jam mencari arahnya.
Setelah bertanya dan tidak bosan-bosannya bertanya akhirnya kami sampai menuju tempat yang dituju. Hujan belum juga berhenti. Gerimis masih mengguyur permukaan bumi namun tidak menyurutkan tekad kami untuk berekreasi ketempat itu. (hujan gak boleh ngeluh, karna Oppa cakap “Hujan tukan rahmat” di serial upin-ipin.Hujan itu air oppa, bukan om rahmat)
Jalan menuju lokasi sekitar desa sidomukti memang sangat sempit dan bisa dikatakan belum diolah dengan baik potensi wisata yang mengagumkan tersebut. Karena untuk kendaraan setara Bus Kota tidak akan bisa masuk ke area wisata. Bahkan mobil avanza saja harus bergantian masuk satu per satu ke area.
Setibanya disana sang Princess (gue) mengambil payung dan berjalan menuju kolam renang alami.

Dan bertemulah dengan apa yang aku angan-angankan yaitu Umbul Sidomukti.
          Kami berfoto-foto ria. Mandi di kolam renang. Hanya saja sayangnya kami tidak sempat bermain permainan Out Bond yang ada disana, padahal arena out bondnya amazing banget, ada flying fox, jembatan gantung, luncur tali, dan lainnya yang bisa memacu adrenalin. Namun karena kondisi waktu itu gerimis dan jalanan licin, tempat arena bermain juga basah jadi tidak bisa digunakan.
Akhirnya aku dan teman-teman menyempatkan diri pergi ke kafe Kopi Umbul Sidomukti yang desain dan letaknya sangat keren.
Selain kafe kopi disana ada villa dengan bersuguhkan pemandangan gunung lawu, kota kendal, ungaran dan sekitarnya yang terpampang nyata membelai mata. Amboy indahnya.
Pukul 6 sore. Mobil meluncur dijalanan turunan yang licin. Tapi kami tetap tenang karna kami sudah sangat familiar dengan sang sopir antar lintas sumatra yang sudah 3 tahun terpercaya membawa kendaraan segala jenis apapun. (ngejek temen gue yang kece bawa mobilnye).
Mampir di sebuah POM bensin untuk menunaikan sholat maghrib. (lagi-lagi minta pencerahan sama Allah, opsinya pulang gak pulang gak)
Setelah melalui kesepakatan bersama dan juga dipenuhi tekad yang kuat. Meluncurlah si putih ke kota Semarang. Jadi intinya malam minggu itu dihabiskan di kota semarang. Setelah makan malam, beli oleh-oleh, nangkring di gombel liat pemandangan kelap kelip kota semarang seperti bukit bintangnya Djogja, tidak lupa mampir ke pusat Lumpia terkenal miliki Nyonya Lien. Kami hang out di simpang lima. Semarang memang menakjubkan. Pemandangan bukit bintang semarang dari area Gombel, terlihat lampu kerlap kerlip kota semarang dari ketinggian kafe Panorama.
Pukul 10 malam. Kami pun memutuskan pulang. Diperjalanan pulang cuaca malam hangat dan cerah. Disudut langit yang menghitam, terpapar senyum ramah sang rembulan. (cieeh romantis banget)
Sepanjang perjalanan mulutku tidak bisa diam. Terus menyemangati sang sopir (temen gue). Buat nge-drift sama tetangga. Mobil yang meluncur dengan kecepatan sama seperti yang kami kendarai dan pada akhirnya malah kebut-kebutan dan kejar-kejaran dijalan. Aku seneng banget dan gatel mau bisa bawa mobil se-kebut itu. Dijalanan lengang, membuat kami dan mobil orang lain merdeka uji nyali kecepatan. Seperti sudah di kode, kami saling menyapa dan kejar-kejaran. Mobil kamipun berpisah di sleman.
Tiba di Djogjakarta pukul 01.00 dini hari. Alhamdulillah selamat dan menyenangkan.